Oleh: Murniati Mukhlisin, Rektor Institut Agama Islam Tazkia/Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah

TULISAN ini berangkat dari keperhatian terhadap nasib pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia yang sekarang sedang berjibaku untuk mendapatkan sertifikasi halal atas produk makanan dan minuman.

Semua memiliki semangat sama bahwa seruan ayat agar umat Islam harus makan dan minum yang halal dapat dijadikan sebagai pemenuhan kewajiban bagi seorang Muslim dan mencapai tujuan ekonomi.

Namun ekosistem sebagai penunjang syarat halal masih belum memadai, seperti tersedianya Rumah Potong Hewan Halal (RPH-Halal).

Mengapa RPH Halal menjadi penting? Karena daging yang diolah harus berasal dari hewan yang sudah dipotong mengikuti syariat Islam.

Daging hewan yang dijual di pasar walaupun sudah disampaikan dipotong secara Islam, namun tidak dapat menunjukan sertifikasi halalnya, masih bisa diragukan.

Walaupun pemotongnya sudah ahli dan terkenal, namun belum tersertifikasi juga tidak bisa memenuhi persyaratan sertifikasi halal.

Tujuan pertama sertifikasi halal adalah seruan ayat yang memerintahkan agar mengonsumsi makanan halal dan baik untuk kesehatan dan tubuhnya, sebagaimana dalam firman Allah:

“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu” QS Al-Baqarah : 2 (168).

Untuk mewujudkan ini, maka pemerintah ingin memastikan makanan dan minuman yang beredar sudah mendapatkan sertifikat halal. Hal ini merupakan bentuk perlindungan pemerintah kepada konsumen Muslim.

Dengan sertifikasi halal, maka konsumen akan lebih tenang dalam mengonsumsi atau memakai suatu produk dan terhindar dari produk yang mengandung unsur haram.

Menteri Agama RI mengatakan bahwa dari data MUI sejak 2012-2018, produk yang sudah mendapatkan sertifikasi halal sekitar 668.000.
Kemudian data Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sejak 2019 hingga Maret 2022 baru sekitar 319.000 produk yang sudah mendapatkan sertifikasi halal.
Sebagai ketegasan pemerintah dalam hal ini, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang sekarang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ada pasal yang diubah, yaitu mewajibkan pelaku usaha mikro dan kecil untuk memiliki sertifikat halal bagi produk olahannya.
Tujuan kedua adalah potensi ekonomi yang saat ini justru dapat memberikan solusi atas pembukaan lapangan pekerjaan.
Dampaknya akan tumbuh pusat pelatihan halal baik untuk kemahiran akan prosedur Sistem Jaminan Halal (SJH) sebagai Pendamping Halal, Penyelia Halal dan Auditor Halal juga untuk teknik menjadi Juru Sembelih Halal (JULEHA).
Di samping itu menarik wisatawan lokal dan asing yang akan merasa lebih nyaman ketika melancong.
Saat ini Indonesia sedang gencar-gencarnya mempromosikan pariwisata halal yang tentu saja harus dikuatkan sektor makanan dan minuman halal.
Potensi pariwisata halal sangat menjanjikan yang bisa dipenuhi hampir semua daerah di Indonesia.

Jika potensi ini dapat dimaksimalkan, maka dapat membantu mendongkrak sumbangan pariwisata kepada Produk Domestik Bruto (PDB) yang saat ini masih relatif kecil, apalagi selama pandemi Covid-19.

Pada 2020 misalnya, kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB Indonesia hanya sebesar 4,05 persen, setelah pada tahun sebelumnya mencapai 4,7 persen.
Sedangkan untuk devisa sektor pariwisata, data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memperkirakan sebesar Rp 5,4 triliun tahun 2021 atau 4,2 persen terhadap PDB.
Sedangkan tahun 2022, diperkirakan hanya bisa naik menjadi Rp 5,5 triliun atau 4,3 persen terhadap PDB.
Dalam hal JULEHA (bukan ZULAIKHA), perlu diukur titik kritis pada hewan yang halal lidzatihi dan perlu melalui proses penyembelihan untuk dapat dikonsumsi.
Titik kritis pada hewan-hewan unggas dan ruminansia yang dikonsumsi secara halal terletak pada metode penyembelihannya.
Apabila pada momen qurban terdapat keutamaan untuk menyembelih hewan oleh tangan sendiri sebagaimana hadist:
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing yang putih kehitaman (bercampur hitam pada sebagian anggota tubuhnya), bertanduk, beliau menyembelih keduanya dengan tangan beliau sendiri, beliau mengucapkan bismillah serta bertakbir dan meletakkan kaki beliau di badan kedua hewan tersebut.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Secara nasional Indonesia telah memiliki panduan tentang penyembelihan hewan unggas dan ruminansia terdapat pada Guideline of Halal Assurance System Criteria on Slaughterhouses, yaitu HAS 23103 dan SKKNI No 196 Tahun 2014 kategori pertanian, kehutanan dan perikanan golongan pokok jasa penunjang peternakan bidang penyembelihan halal.
Menurut ketentuan tersebut kriteria penyembelihan hewan secara syariat adalah:
  • Dilakukan secara cepat agar tidak menginduksi sakit berlebihan pada hewan yang disembelih;
  • Menggunakan peralatan sangat tajam, sehingga mampu melukai hingga darah mengalir dan tidak memicu pembekuan darah;
  • Menggunakan peralatan sesuai ukuran objek sembelih;
  • Tidak menggunakan alat yang mengandung kuku, gigi atau tulang;
  • Tidak mengasah pisau didekat hewan yang akan disembelih.
Sementara kriteria menjadi JULEHA adalah:
  • Beragama Islam;
  • Dewasa;
  • Sehat jasamani dan rohani;
  • Mampu membedakan hewan halal;
  • Mampu mengenali tanda kehidupan objek sembelihan;
  • Mengenali tanda-tanda kematian;
  • Mengucapkan lafadz tasmiyya “Dengan menyebut nama Allah.”
Urgensi untuk memiliki JULEHA bukan hanya terkait pada titik kritis yang harus dipenuhi, juga sebagai upaya untuk mencapai kesejahteraan ternak.
Dengan adanya JULEHA maka diharapkan sumber daya manusia yang khusus bertugas menyembelih hewan dapat bersaing secara profesional di level nasional dan internasional. Wallahu a’lam bis-shawaab. Salam Sakinah!

Sobat Syariah Mobile App

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. In sit amet fermentum augue. Nullam bibendum consectetur lacinia. Etiam sit amet lorem sodales.